Dunia saat ini sedang mengalami berbagai krisis, mulai
dari krisis energy sampai krisis moral. Oleh banyak ahli, berbagai krisis yang
melanda dunia ini ditengarai dikarenakan ummat manusia tidak berperilaku
sebagaimana mestinya (benar dan baik). Kesalahan perilaku ummat manusia
tersebut disinyalir oleh para ahli tersebut karena pola pendidikan yang dikembangkan
saat ini kurang tepat. Saat ini, pendidikan dikembangkan dengan memisahkan
antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dikotomi (pemisahan antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum) tersebut disinyalir sebagai penyebab utama dari
krisis global tersebut. Menanggapi masalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu
umum tersebut muncul gagasan M.Amin Abdullah yang dikenal dengan paradigma
integrasi-interkoneksi.
Kemajuan dan Kemunduran Sains dalam Peradaban Islam
KEMAJUAN
SAINS DALAM PERADABAN ISLAM
•
Umat Islam mulai
mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah sejak generasi pertama sampai abad
ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan
di seluruh penjuru dunia.
•
Umat Islam telah
menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai
masyarakat pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental
science atau ilmu thabi’i berdasarkan
percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau technology.
•
Islam mendorong
ummatnya untuk selalu
berupaya mengembangkan sains
•
Q.S. Al-’alaq: 1-5
•
Artinya
: “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan (1). Menciptakan manusia ari
segumpal darah (2). Bacalah, Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3). Yang mengajar
dengan kalam (4). Mengajar manusia apa yang ia tidak ketahui (5). ”
Empat Tipologi Hubungan Sains dan Agama
Ian G. Barbour
(2002:47) mencoba memetakan hubungan sains dan agama dengan membuka kemungkinan
interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang
hubungan sains dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang
dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku
pada disiplin-disiplin ilmiah tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi
ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog,
dan Integrasi yang tiap-tiap variannya berbeda satu sama lain.
Sejarah Hubungan Agama dan Sains
Pola Konflik Agama dan Sains
•
Galileo
(Abad ke-15 M)
•
Newton (Abad ke-17 M)
•
Darwin (Abad ke-19 M)
•
Einstein (Abad 20)
Konflik
Antara Agama dan Sains
•
Konflik antara agama dan sains telah dimulai sejak abad 15, ketika Galileo menentang paham geosentris
(bumi merupakan pusat tata surya) yang dianut oleh gereja.
•
Galileo
dianggap mengingkari
keyakinan agamanya (kristen) bahwa bumi adalah
pusat edar tata surya.
•
Ketaksesuaian
agama dan sains berlanjut hingga
masa sesudahnya (masa Newton / masa
sains modern).
Mengintegrasikan Agama dan Sains
Wacana integrasi antara agama dan sains
sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi”
secara
eksplisit. Katakan saja, di kalangan Muslim modern gagasan perlunya
pemaduan agama dan sains, atau wahyu [iman] dan akal, telah cukup lama
beredar. Cukup
popular juga di kalangan Muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains
dalam
peradaban Islam, agama dan ilmu telah integrated. Bagi kalangan Kristen
kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang
menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”.
Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar
wacana agama dan sains yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar
berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia.
Dari empat pandangan tipologi di
atas, Ian G. Barbour, lebih berpihak pada dua pandangan terakhir, dan khususnya
integration. Lebih khusus lagi, integrasi Barbour, adalah integrasi teologis.
Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi
baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu
sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat
spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk
theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan
utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan
ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada
teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu
pada ada yang disampaikan oleh isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.
Pandangan yang mirip tetapi tak
sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught [1995], yang membagi
pendekatan agama dan sains, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras,
pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Keempat pandangan ini dapat
dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga
melihatnya sebagai semacam perjalanan. Untuk itu, secara singkat membahas empat
pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan agama, sebagai berikut :
Pendekatan Konflik, suatu
keyakinan bahwa pada dasarnya agama dan sains tidak dapat dirujukan atau
dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak
akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi
yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan
pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering
mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”,
sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar.
Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang
liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu
emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak
memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya
tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar
sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu
beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual,
metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat
dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains”
menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam
dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke
kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini,
terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.
Pendekatan kontras, suatu
pernyataan bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan
sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan
dan agamawan [teolog] tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan
sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga
secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains
sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka
sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur
sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara
satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan
pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Agama dan sains
benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar agama
dan sains berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan
sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.
Pendekatan Kontak, suatu
pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya
”penyesuaian” antara agama dan sains, dan terutama mengupayakan cara-cara
bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk
menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini
terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni
yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju
bahwa agama dan sains jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam
dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana
diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia
Barat, agama telah membentu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya
kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Pendekatan kontak mengemukakan
bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas ”cakrawala keyakinan relegius” dan
bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang
alam semesta. Memang sains, tidak berusaha membuktikan kebenaran Tuhan
berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan penemuan-penemuan
ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu juga agama, tidak berusaha
untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan mengacu pada konsep-konsep ilmiah
yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara langsung kepada desainer
Ilahi. Untuk itu, agama dan sains harus saling berbagi secara timbal-balik
dalam keterbukaan secara kritis terhadap apa yang nyata. Dengan dasar inilah,
akan menjadi landasan bagi adanya ”kontak” sejati antara agama dan sains.
Pendekatan Konfirmasi, suatu
perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti
cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala
kegiatan ilmiah. Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling
mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang
lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan
memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat
dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara yang sangat
mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa,
“pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat
mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna
kepada alam semesta.
Haught, mengatakan iman dalam
artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah
bertentangan dengan sains, melainkan justru merupakan sumbernya. Sains,
sebagaimana halnya semua pengetahuan manusia, mempunyai apa yang oleh Michael
Polanyi menyebutnya sebagai aspek ”kepercayaan” [fuduciary, dari kata Latin,
fideo yang artinya memercayai]. Maka tanpa unsur kepercayaan ini, kiranya tidak
bakal ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Keempat pandangan Haught ini,
dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Berbour, tetapi
Haught sendiri, melihatnya semacam ”perjalanan”. Tetapi secara lebih spesifik,
Smith, menyebut upaya-upaya para ilmuwan ”teologi” tersebut sebagai
”kolonialisasi teologi oleh sains”. Konflik antara agama sains yang terjadi
akibat pengaburan batas-batas agama sains, sebab keduanya dianggap bersaing
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama, sehingga orang harus memilih
salah satunya. Maka dari pandangan Haught ini, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah “menarik garis pemisah yang jelas untuk menunjukkan Kontras
keduanya. Langkah berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang itu jelas, baru
dapat dilakukan kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat
bahwa bagaimanpun bidang-bidang ilmu yang berbeda perlu dibuat koheren. Pada
posisi ini, implikasi-teologis teori ilmiah ditarik ke wilayah teologis, bukan
untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan sekedar menafsirkan temuan
ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik.
Dasar dari pandangan ini adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains
mengenai alam memiliki relevansi dengan pemahaman keagamaan.
Pandangan dan gerakan Haught,
melangkah lebih jauh pada konfirmasi dengan upaya mengakarkan sains beserta
asumsi metafisinya pada pandangan dasar agama mengenai realitas – realitas yang
setidaknya dalam tiga agama monoteistik [Yahudi, Kristen, dan Islam] pada
dasarnya berakar pada Wujud yang disebut “Tuhan”. Maka, asumsi metafisis sains
yang disebut Haught di antaranya bahwa alam sementara adalah suatu
“keteraturan” [“tertib wujud”] yang rasional. Menurut Haught, tanpa ini sains
sebagai upaya pencarian intelektual tak dapat melakukan langkah pertamanya
sekalipun. Pandangan ini, dapat dibayangkan semacan “premis awal” Aristotelian
yang sifatnya apriori, yang diperlukan untuk menggerakkan silogisme pertama.
Maka, bagi kaum beragama, “premis awal” ini merupakan objek "keimanan".
Seorang
fisikawan Muslim, Mehdi Golshani yang pandangannya dalam soal “strategi”
pemaduan agama sains, tanpaknya memiliki kesamaan dengan Haught yang
teologi Kristen, meskipun ada banyak perbedaan. Dalam mengemukakan
pandangannya, mereka bahkan menggunakan “metafora” yang sama: “akar”. Katakan
saja, Haught, berupaya untuk “mengakarkan sains pada pandangan agama mengenai
realitas. Bagi Golshani, ketika menyebut perbedaan antara apa yang disebutnya
“Islamic science” dan “sains sekuler”, Golshani mengatakan tampak pada
wilayah-wilayah, yaitu Pertama, praanggapan-praanggapan metafisik dalam sains
sering kali “berakar” pada pandangan-dunia “religius”. Kedua, pandangan
religius efektif dalam memberikan otoritas yang layak dari penerapan sains.
Jadi, asumsi-asumsi metafisis sering kali berakar pada pandangan dunia agama.
Golshani seperti juga Haught,
menjelaskan bahwa sains mau tak mau mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi
objek kajiannya adalah alam yang rasional: teratur dan memiliki hukum-hukum.
Kata Golshani, dalam sains sekuler, ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu
dibuktikan meskipun [mau tak mau] diyakini. Maka, tanpa keyakinan bahwa ada
hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual pengembangan
teori-teori ilmiah. Di sinilah, pandangan Golshani, senada dengan Haught, bahwa
agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains.
Maka untuk mengintegrasikan
”sains dan agama”, Paul Davies, dalam bukunya God and The New Phyisics,
merekomendasikan kebangkitan relasi agama dan sains, yaitu : Pertama, adanya
”dialog” yang semakin intensif antara para ahli sains, filsafat dan teolog
mengenai persoalan yang berkaitan dengan gagasan penciptaan [evolusi] yang
menjadi biang keladi perdebatan agama dan sains karena beda pandangan. Kedua,
adanya minat yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur. Tanpaknya,
keinginan kita pun sama dengan kerinduan C.P. Snow, bahwa semua itu dapat
termanifestasi dalam sikap dan perilaku kaum agamawan dan saintis. Untuk itu,
caranya adalah para saintis dan agamawan harus duduk bersama dalam rangka
mengisi kehidupan yang lebih harmonis dan manusiawi.
Agama dan Sains
Ketika kita mendengar kata “agama dan sains”, maka kita akan langsung berpikir
akan hubungan yg kurang harmonis di antara keduanya. Padahal dalam sejarah
pertemuan keduanya tidak hanya berupa pertentangan saja, tetapi juga orang
berusaha untuk mencari hubungan antara keduanya dimana sains dan agama dapat
bertemu untuk saling menguatkan keilmuannya dan tidak saling menjatuhkan.
Memang, religion and science merupakan
topik yang selalu menarik perhatian di kalangan intelektual. Hingga kini, masih
saja ada opini dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” tidak
mungkin dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah
antara satu dan lainnya. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan begitu
juga dengan agama yang tidak memperdulikan ilmu.
Permasalahan yang muncul sekarang
adalah bagaimana mengintegrasikan agama dan sains. Pengintegrasian yang seperti
apa yang dapat dilakukan? Dalam topik agama dan sains, intergrasi dalam artian
generiknya sebagai upaya memadukan agama dan sains. Dr. J.Sudarminta, SJ,
misalnya, pernah mengajukan apa yang disebutnya ”integrasi yang valid”, tetapi
pada kesempatan lain mengkritik ”integrasi yang naif” [istilah yang
digunakannya untuk menyebut kecenderungan pencocok-cocokan secara dangkal
ayat-ayat kitab suci dengan temuan-temuan ilmiah].
Dengan dasar pemikiran di atas,
penulis akan membahas apakah agama bertentangan dengan sains, bagaimana
integrasi interkoneksi antara agama dan sains khususnya integrasi interkoneksi
agama islam dan sains.
Referensi:
Hujair Sanaky, “Integrasi antara sains dan agama” [Kajian Tentang
Konflik, Integrasi, dan Pandangan Islam Terhadap Hubungan Sains dan Agama] .
John F.Haught, 1995, Sccience and
Religion: From Conflict to Conversation, Paulist Press, New York, Amerika,
terj. Fransiskus Borgias, 2004, Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke
Dialog, Mizan, Bandung.
Akh. Minhaji, 2004, ”Transformasi
IAIN Menuju UIN, Sebuah Pengantar, dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi
Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains , Pilar Relegia dan
SUKA Press, Yogyakarta.
M. Amin Abdullah, 2004, ”Etika
Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari
Paradigma Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”,
dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan
Epistemologi Islam dan Sains [Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta.
M. Amin Abdullah, 2004, ”Etika
Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari
Paradigma Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”,
dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan
Epistemologi Islam dan Sains [Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta.
Zainal Abidin Bagis et al, 2005, Integrasi
Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung.
Labels:
Agama,
Integrasi,
Interkoneksi,
Islam,
Sains
Subscribe to:
Posts (Atom)