Mengintegrasikan Agama dan Sains




Wacana integrasi antara agama dan sains sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan Muslim modern gagasan perlunya pemaduan agama dan sains, atau wahyu [iman] dan akal, telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan Muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, agama dan ilmu telah integrated. Bagi kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”. Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana agama dan sains yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia.
Dari empat pandangan tipologi di atas, Ian G. Barbour, lebih berpihak pada dua pandangan terakhir, dan khususnya integration. Lebih khusus lagi, integrasi Barbour, adalah integrasi teologis. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologinya, lalu suatu teologi baru dibangun dengan memperhatikan teologi tradisonal sebagai salah satu sumbernya. Dengan demikian, “integrasi” ala Barbour, memiliki makna yang sangat spesifik, yang bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature. Barbour, membedakannya dari natural theory, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah. Ketika berbicara tentang agama, perhatian Barbour nyaris terbatas pada teologi. Dan ketika berbicara tentang sains, perhatiannya terutama tertumpu pada ada yang disampaikan oleh isi teori-teori paling mutakhir dalam ilmu alam.
Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Ian G. Barbour, yaitu John F. Haught [1995], yang membagi pendekatan agama dan sains, menjadi pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan konfirmasi. Keempat pandangan ini dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Barbour, tetapi Haught juga melihatnya sebagai semacam perjalanan. Untuk itu, secara singkat membahas empat pemikiran Haught tentang hubungan sanis dan agama, sebagai berikut :
Pendekatan Konflik, suatu keyakinan bahwa pada dasarnya agama dan sains tidak dapat dirujukan atau dipadukan. Artinya banyak pemikir [saintis] yang memandang bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Masing-masing berada pada posisi yang berbeda, sains menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman, sedangkan agama berdasarkan keyakinan. Kaum skeptis ilmiah sering mengatakan agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau “keyakinan”, sedangkan sains tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Menurut kaum saintis, memandang agama terlalu bersandar pada imajinasi yang liar, sedangkan sains bertumpuk pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional, penuh gairah dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif. Jadi, pertautan antara keduanya tidak dengan mudah dapat dilakukan. Keduanya memiliki perbedaan mendasar sehingga upaya menyandingkan keduanya dalam satu ”kotak” tentu akan memicu beberapa persoalan, terutama terkait dengan benturan-benturan konseptual, metodologis dan ontologis antara ”sains” dan ”agama”. Secara tegas dapat dikatakan, bahwa dalam sejarah, sikap ”ekspansionis” agama maupun ”sains” menolak pengaplingan wilayah masing-masing. Keduanya sulit dipaksa berdiam dalam kotak-kotak tertentu, tetapi ingin memperluas wilyah signifikansinya ke kotak-kotak lain. Maka, ketika satu ”kotak” didiami oleh dua entitas ini, terbukalah peluang terjadinya konflik antara keduanya.
Pendekatan kontras, suatu pernyataan bahwa tidak adan pertentangan yang sungguh-sungguh, karena agama dan sains memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Banyak ilmuwan dan agamawan [teolog] tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut kubu kontras, ”agama” dan ”sains” sangatlah berbeda sehingga secara logis tidak mungkin ada konflik di antara keduanya. Agama dan sains sama-sama absah [valid] meskipun hanya dalam batas ruang penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains, begitu juga sebaliknya, oleh karena itu keduanya harus dipisahkan antara satu dan lainnya. Jika agama dan sains sama-sama mencoba untuk mengerjakan pekerjaan yang sama, tentu saja mereka akan bertentangan. Agama dan sains benar-benar mempunyai tugas-tugas yang tidak sama dan tetap menjaga agar agama dan sains berada dalam wilayah yurisdiksinya masing-masing. Jadi, agama dan sains tidak perlu mencampuri urusan satu sama lain.
Pendekatan Kontak, suatu pendekatan yang mengupayakan dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya ”penyesuaian” antara agama dan sains, dan terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Cara untuk menghubungkan agama dengan sains, sebab Haught, tidak rela membiarkan dunia ini terpilah-pilah menjadi dua ranah [dikotomik]. Tetapi ia juga tidak setuju pada harmoni yang dangkal dalam pendekatan peleburan. Maka menurutnya, pendekatan ini setuju bahwa agama dan sains jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dalam dunia kenyata, mereka tidak dapat dikotak-kotakan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh kubu pendekatan kontras. Kata Haught, bagaimanapun di dunia Barat, agama telah membentu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Pendekatan kontak mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah dapat memperluas ”cakrawala keyakinan relegius” dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Memang sains, tidak berusaha membuktikan kebenaran Tuhan berdasarkan sains, tetapi sudah merasa puas kalau menafsirkan penemuan-penemuan ilmiah di dalam kerangka makna keagamaan. Begitu juga agama, tidak berusaha untuk menopang ajaran-ajaran keagamaan dengan mengacu pada konsep-konsep ilmiah yang pada permukaannya, boleh jadi menunjuk secara langsung kepada desainer Ilahi. Untuk itu, agama dan sains harus saling berbagi secara timbal-balik dalam keterbukaan secara kritis terhadap apa yang nyata. Dengan dasar inilah, akan menjadi landasan bagi adanya ”kontak” sejati antara agama dan sains.
Pendekatan Konfirmasi, suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting, perspektif ini menyoroti cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah. Pendekatan konfirmasi, menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan. Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih bermakna. Begitu pula, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui pemahaman teologis. Dengan demikian, posisi “agama memperkuat dorongan yang dapat memunculkan sains. Agama dengan suatu cara yang sangat mendalam, mendukung seluruh upaya kegiatan ilmiah”. Maka dapat dikatakan bahwa, “pendekatan konfirmasi adalah “memperkuat” atau “mendukung”. Jadi, agama dapat mendukung sepenuhnya dan bahkan melandasi upaya ilmiah dalam memberi makna kepada alam semesta.
Haught, mengatakan iman dalam artian kepercayaan mendasar akan rasionalitas yang luas dari realitas, tidaklah bertentangan dengan sains, melainkan justru merupakan sumbernya. Sains, sebagaimana halnya semua pengetahuan manusia, mempunyai apa yang oleh Michael Polanyi menyebutnya sebagai aspek ”kepercayaan” [fuduciary, dari kata Latin, fideo yang artinya memercayai]. Maka tanpa unsur kepercayaan ini, kiranya tidak bakal ada juga rangsangan untuk mengupayakan kebenaran melalui sains.
Keempat pandangan Haught ini, dapat dilihat sebagai semacam tipologi seperti yang dibuat Berbour, tetapi Haught sendiri, melihatnya semacam ”perjalanan”. Tetapi secara lebih spesifik, Smith, menyebut upaya-upaya para ilmuwan ”teologi” tersebut sebagai ”kolonialisasi teologi oleh sains”. Konflik antara agama sains  yang terjadi akibat pengaburan batas-batas agama sains, sebab keduanya dianggap bersaing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama, sehingga orang harus memilih salah satunya. Maka dari pandangan Haught ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah “menarik garis pemisah yang jelas untuk menunjukkan Kontras keduanya. Langkah berikutnya, setelah perbedaan kedua bidang itu jelas, baru dapat dilakukan kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat bahwa bagaimanpun bidang-bidang ilmu yang berbeda perlu dibuat koheren. Pada posisi ini, implikasi-teologis teori ilmiah ditarik ke wilayah teologis, bukan untuk “membuktikan” doktrin keagamaan, melainkan sekedar menafsirkan temuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik. Dasar dari pandangan ini adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains mengenai alam memiliki relevansi dengan pemahaman keagamaan.
Pandangan dan gerakan Haught, melangkah lebih jauh pada konfirmasi dengan upaya mengakarkan sains beserta asumsi metafisinya pada pandangan dasar agama mengenai realitas – realitas yang setidaknya dalam tiga agama monoteistik [Yahudi, Kristen, dan Islam] pada dasarnya berakar pada Wujud yang disebut “Tuhan”. Maka, asumsi metafisis sains yang disebut Haught di antaranya bahwa alam sementara adalah suatu “keteraturan” [“tertib wujud”] yang rasional. Menurut Haught, tanpa ini sains sebagai upaya pencarian intelektual tak dapat melakukan langkah pertamanya sekalipun. Pandangan ini, dapat dibayangkan semacan “premis awal” Aristotelian yang sifatnya apriori, yang diperlukan untuk menggerakkan silogisme pertama. Maka, bagi kaum beragama, “premis awal” ini merupakan objek "keimanan".
Seorang fisikawan Muslim, Mehdi Golshani yang pandangannya dalam soal “strategi” pemaduan agama sains, tanpaknya memiliki kesamaan dengan Haught yang teologi Kristen, meskipun ada banyak perbedaan. Dalam mengemukakan pandangannya, mereka bahkan menggunakan “metafora” yang sama: “akar”. Katakan saja, Haught, berupaya untuk “mengakarkan sains pada pandangan agama mengenai realitas. Bagi Golshani, ketika menyebut perbedaan antara apa yang disebutnya “Islamic science” dan “sains sekuler”, Golshani mengatakan tampak pada wilayah-wilayah, yaitu Pertama, praanggapan-praanggapan metafisik dalam sains sering kali “berakar” pada pandangan-dunia “religius”. Kedua, pandangan religius efektif dalam memberikan otoritas yang layak dari penerapan sains. Jadi, asumsi-asumsi metafisis sering kali berakar pada pandangan dunia agama.


Golshani seperti juga Haught, menjelaskan bahwa sains mau tak mau mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional: teratur dan memiliki hukum-hukum. Kata Golshani, dalam sains sekuler, ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun [mau tak mau] diyakini. Maka, tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual pengembangan teori-teori ilmiah. Di sinilah, pandangan Golshani, senada dengan Haught, bahwa agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains.

Maka untuk mengintegrasikan ”sains dan agama”, Paul Davies, dalam bukunya God and The New Phyisics, merekomendasikan kebangkitan relasi agama dan sains, yaitu : Pertama, adanya ”dialog” yang semakin intensif antara para ahli sains, filsafat dan teolog mengenai persoalan yang berkaitan dengan gagasan penciptaan [evolusi] yang menjadi biang keladi perdebatan agama dan sains karena beda pandangan. Kedua, adanya minat yang besar untuk pemikiran mistik dan filsafat timur. Tanpaknya, keinginan kita pun sama dengan kerinduan C.P. Snow, bahwa semua itu dapat termanifestasi dalam sikap dan perilaku kaum agamawan dan saintis. Untuk itu, caranya adalah para saintis dan agamawan harus duduk bersama dalam rangka mengisi kehidupan yang lebih harmonis dan manusiawi.

No comments:

Post a Comment